(Sumber: suarapapua.com)
Oleh Socratez Sofyan Yoman*
( …ribuan anak Asli Papua yang kini menjerit terhadap ketidakberpihakan itu, mengharapkan kepada Pemerintah daerah harus sadar bahwa hadirnya UU Otsus untuk siapa, UU Otsus lahir karena apa, karena adanya tuntutan Merdeka “melepaskan diri dari NKRI” rakyat Papua” (Dr. “HC” Herman A.T. Yoku, SIP, Cederawasih Pos dan Bintang Papua, Jumat, 30/03/2012).
Para pembaca Opini yang mulia dan terhormat, Opini saya yang bertopik: “Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua” yang dimuat Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012, telah saya kutip janji dan komitmen Pemerintah Indonesia untuk penduduk asli Papua pada saat Papua diintegrasikan paksa ke dalam Indonesia dengan rekayasa PEPERA 1969.
Kutipan itu sebagai berikut: “Menteri Dalam Negeri Indonesia menyatakan….pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia” (Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98,19 November 1969, paragraph 18, p.2). Setelah 31 tahun sejak 1969-2000, Pemerintah Indonesia membuat janji dan komitmen yang hampir sama dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk : pembedayaan (empowering), perlindungan (protection) dan keberpihakan (affimatitive action) terhadap penduduk Asli Papua dan Orang Asli Papua tetap dipaksa tinggal dalam NKRI.
Tetapi realitanya, manusia Papua, penduduk Asli Papua dan Pemilik Tanah dan Negeri ini diperlakukan tidak manusiawi dan dibantai seperti hewan atas nama NKRI. Contoh nyata: Tiga orang Asli Papua yang ditembak mati oleh aparat keamanan pada tanggal 19 Oktober 2011 di lapangan Zakheus, penembaknya hanya diberikan hukuman disiplin. Ini pengkhianatan terhadap martabat manusia yang tidak bisa ditolorensi dalam konteks kemanusiaan. Alasan apapun tidak boleh membunuh manusia. Itu kejahatan terberat yang dilakukan Negara.
Contoh fakta lain seperti pada media Cenderawasih Pos melaporkan: Pelantikan Pejabat Eselon di Pemkab Keerom Disorot. Tokoh Masyarakat asal pertbatasan RI-PNG, Keerom, Dr. (HC), Herman A.T.Yoku, S.IP, mengatakan: “Banyak anak-anak asli Papua yang dianaktirikan dalam penempatan eselon tersebut. Dari 117 pejabat eselon II,III dan IV yang baru dilantik beberapa hari lalu, jika dihitung secara cermat, putra daerah yang dilantik jumlah tidak mencapai 10 orang, dari yang dilantik. Saya harapkan kebijakan affirmatif (keberpihakan) yang diamanatkann dalam UU No. 21 Tahun 2001 semestinya diperhatikan oleh pemerintah daerah…” (Cenderawasih Pos, Jumat, 30 Maret 2012, hal. 14). “Sebagai anak asli Papua bahwa Bupati harus sadar bahwa Undang-Undang Otonomni Khusus buat siapa? Pelantikan Pejabat Eselon yang kemarin (Kamis, 29/03/2012) tidak ada satupun saya lihat Anak Asli Papua yang dilantik, apalagi anak asli Keerom yang mempunyai Negeri ini, saya sangat menyesal sebagai tokoh masyarakat yang berjuang untuk dimekarkan daerah ini, kenapa Bupati tidak bisa memperhatikan daerah ini. Kalau untuk kepentingan semata saya minta letakkan jabatan ini, bahwa daerah ini bisa dikatakan aman karena anak asli yang mengatakan aman daerahnya sendiri” (Bintang Papua, Jumat, 30 Maret 2012, hal. 5).
Dalam Kolom OPINI tentang UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus saya dengan terus terang dan terbuka terus-menerus menyampaikan dengan topik (1) Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua: Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5 dan (2) “Sudah Waktunya: Rakyat Papua Berdiri Sendiri” : di Pasific Post, 13 Maret 2012 dan Bintang Papua, 16 Maret 2012. (3) “Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”: di Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012. “Otononi Khusus adalah solusi politik atau bargaining politik antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, supaya orang asli Papua tetap dalam Indonesia dengan jaminan untuk melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tetapi, “dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh umat Tuhan di Papua dan penghancur masa depan rakyat dan bangsa Papua.
Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.”
Herman Yoku mengatakan: ….saya sangat menyesal sebagai tokoh masyarakat yang berjuang untuk dimekarkan daerah ini, kenapa bupati tidak memperhatikan daerah ini? Dari pernyataan ini terbukti bahwa rupanya banyak Pajabat Orang Asli Papua yang tidak mempunyai kemampuan kritis tentang siasat dan perangkap yang dipasang Pemerintah Indonesia tentang latar belakang pemekaran kabupaten dan Provinsi di Tanah Papua. Saya sangat menyayangkan, cara pandang dan berpikir para Pejabat Anak Asli Papua bahwa Pemekaran Kabupaten, Kota dan Provinsi adalah hasil kerja keras dan perjuangan mereka. Yang sebenarnya bukan seperti itu.
Yang sesungguhnya latar belakang ramainya pemekaran kabupaten / kota dan provinsi di Tanah Papua Barat yang liar dan tak terkendali ini ialah murni kepentingan politik, ekonomi, keamanan dan proses pemusnahan etnis Malenesia secara struktural dan sistematis. Dan semua kebijakan politik pemerintah Indonesia ini bukan kepentingan untuk memajukkan, membangun dan mensejahterakan penduduk asli Papua. Menurut hemat saya, kalimat kuncinya ialah pemekaran kabupaten dan provinsi di Tanah Papua Barat ialah operasi militer dan operasi Transmigrasi gara baru untuk pemusnahan enis Malanesia lebih cepat. Saya pernah membuat dalam Kolom OPINI di Pasific Post, 25 September 2009, dengan topik: Pemekaran Kabupaten /Kota Dan Provinsi Di Tanah Papua Barat Adalah Operasi Militer Dan Operasi Transmigrasi Gaya Baru.” Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 yang telah GAGAL.
Pemekaran Kabupaten, Kota dan Provinsi yang tidak seimbang dengan penduduk Asli Papua merupakan rantai-rantai Pendudukan, Penjajahan, dan Pemarjinalan Penduduk Asli Papua sekarang sedang digalakkan dengan berlindung dibalik slogan pembangunan nasional. “Politik adu domba (politik devide et impera) seperti yang diterapkan oleh Penjajah, Apartheit di Afrika Selatan, pada tahun 1978, Pieter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka: Negara boneka Transkei, Negara boneka Bophutha Tswana, Negara boneka Venda, Negara bonoke Ciskei. Dalam konteks Papua, Pemerintah Penjajah Indonesia membentuk banyak kabupaten boneka dan juga Provinsi boneka untuk memecah-belah keutuhan dan kesataun Penduduk Asli Papua.” (Yoman: hal. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, 2007: hal. 224)
Penulis sendiri mempunyai bukti dokumen tertulis tentang operasi militer . Kalau para pembaca membaca buku saya yang berjudul : “ Pintu Menuju Papua Merdeka “ ( Socratez Sofyan Yoman; 2000. Hal. 78- 86. Terlihat sangat jelas ditemukan dalam buku ini dokumen sangat rahasia yang dikeluarkan oleh departemen dalam negeri DITJEN KESBANG dan LINMAS dalam nota dinas no. 578/ND/KESBANG/ DIV/VI/2000 tanggal 9 juni 2000 berdasarkan radio gram Gubernur ( Carataker) kepala daerah tingkkat I irian jaya No. BB.091/POM/060200, tertanggal juni 2000 dan No. 190/1671/SET/ tertanggal 3 Juni 2000. Tujuan utama ialah rencana operasi pengkondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dan pembentukan provinsi dan kabupaten di Irian Jaya ( Papua).
Pelaksana operasi pengkondisian dan pemekaran ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Republic Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Koordinasi Inteljen Negara ( BAKIN), Badan Intelijen Negara Strategis ( BAIS), SPAM, MABES AD, ASTER, KASTER TNI, SINTEL MABES PPOLRI, KOSTRAD DAN KOPASSUS , Muspida provinsi Irian Jaya ( Papua) dan provinsi-provinsi lainDokumen lain ialah dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariatan Jendral , Jakarta, 27 Mei 2003 dan tanggal 28 mei 2003 tentang “ Strategis Penyelesaian Konflik berlatar belakang separatis di provinsi Papua melalui pendekatan bidang politik keamanan” ( Dokumen ini dapat dilihat dalam buku saya:” Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” Dumma Socratez Sofyan Yoman: 2009; hal. 117-118). Dua dokumen ini memperlihatkan wajah dan karakter milisteristik pemerintah Indonesia yang mencaplok dan menduduki tanah Papua Barat dan menjajah penduduk pribumi, orang Melanesia melalui rekayasa politik sejak 1 Mei 1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sampai saat ini . Setelah dicaplok, selama ini Papua Barat dilihat oleh pemerintah Indonesia melalui tanpa kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan kelangsungan hidup orang – orang pemilik, ahli waris negeri dan tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia juga mengelola Papua Barat sebagai wilayah bermasalah dan daerah konflik yang perlu diselesaikan dengan pendekatan keamanan. Walaupun pendekatan keamanan ternyata total gagal dan penyebabkan pelanggaran HAM yang kejam dan memilukan hati umat Tuhan.
Pemekaran kabupaten/kota dan provinsi dalam jumlah banyak kalau dilihat dari persyaratannya seperti: penduduk, wilayah, sumber daya Alam ( SDA ) dan sumber daya manusia (SDM), dari semua syarat ini dari sisi jumlah penduduk dan kesiapan sumber daya manusia SDM sangat ironis. Karena, jumlah penduduk orang asli Papua hanya 1, 5 juta yang tidak membutuhkan banyak kabupaten/ kota dan provinsi di tanah Papua Barat ini. Kabupaten/ kota dan provinsi banyak juga dibutuhkan sumber daya manusia ( SDM) yang harus memenuhi kepangkatan dan eselonisasi yang akan menduduki jabatan – jabatan struktural dan fungsional.
Konsekwensi pemekaran kabupaten/ kota dan provinsi banyak Papua Barat ialah: (1) Pengiriman para penjabat dari luar Papua untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis dengan bahwa penduduk asli belum memenuhi kriteria kepangkatan, keahlian, pengalaman, tingkat pendidikan.
(2) Pengiriman dan datangnya penduduk dari luar untuk mendapatkan peluang ekonomi di daerah pemekaran dan meminggirkan atau memusnahkan penduduk asli. Mr. Juan Mendez, Penasihat Khusus Sekjen PBB dalam bidang Pencegahan Pemusnahan Etnis Penduduk Pribumi menytakan: “ Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan.” Universitas Yale, Amerika dan Universitas Sydney mengeluarkan laporan bahwa di Papua Barat terjadi pemusnahan etnis penduduk Asli Papua.
(3) Pembangunan basis-basis TNI dan POLRI dengan alasan keamanan nasional dan keamanan serta keselamatan para pendatang.
(4) Perampasan rakyat dengan alasan kepentingan – kepentingan pembangunan kantor-kantor pemerintah.
(5) Perampasan tanah rakyat dengan tujuan untuk membangun tokoh-tokoh besar, mall-mall, super market, hotel-hotel megah, restoran-restoran.
(6) Penghancuran gunung dan bukit milik rakyat.
(7) Penghancuran pohon-pohon sagu, kelapa sebagai sumber pendapatan dan kehidupan rakyat.
(8) Pengancuran dan pencemaran air bersih yang dimiliki penduduk asli.
Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia sebenarnya telah gagal membangun dan menanamkan ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika terhadap Penduduk Asli Papua. Sebaliknya, Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia telah sukses dan berhasil membangun dan memperkuat ideologi dan kemerdekaan Papua Barat dengan memelihara stigma separatis, makar dan OPM. Ini kesalahan fatal yang dilakukan oleh Pemerintah dan aparat keamanan selama ini. Pendekatan Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia yang tidak menghormati martabat manusia selama ini telah menjauhkan hati rakyat dari Indonesia. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia dengan kekerasan hanya berhasil mengintegrasikan secara ekonomi dan politik ke dalam Indonesia. Pemerintah Indonesia benar-benar menduduki, menjajah dan memarjinalkan (meminggirkan) Penduduk Asli Papua.
Karena kegagalan Pemerintah Indonesia di Papua, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan: “Persoalan di Papua sudah sangat sulit untuk diselesaikan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, selain mengikuti gejolak tuntutan masyarakat Papua yang menginginkan Referendum. Dan secepatnya pemerintah Indonesia angkat kaki dari Tanah Papua. Hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak” ( Komentar George saat peluncuran buku berjudul: “West Papua: Persoalan Internasional”, di Kantor Kontras Jakarta, Kamis, 3/11/2011). “Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal,” (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. : sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011).
“SAYA TAHU, saya mengerti dan juga saya sadar apa yang saya baktikan ini. Karena itu, Anda yakin atau tidak yakin, Anda percaya atau tidak percaya, Anda suka atau tidak suka, Anda senang atau tidak senang, cepat atau lambat, penduduk asli Papua Barat ini akan memperoleh kemerdekaan dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan Negara berdaulat di atas Tanah leluhur mereka. Dalam keyakinan dan spirit itu, apapun resikonya pendapat serta komentar orang, saya dengan keyakinan yang kokoh dan keteguhan hati nurani, saya mengabdikan ilmu saya untuk menulis buku-buku sejarah peradaban dan setiap kejadian di atas tanah ini. Supaya anak-cucu dari bangsa ini, ke depan, akan belajar bahwa bangsa ini mempunyai pengalaman sejarah perjalanan dan penderitaan panjang yang pahit dan amat buruk yang memilukan hati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia” (Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua Barat, Kamis,09 Juni 2011, 21:17 WP). Pernyataan iman ini telah diabadikan dalam buku saya yang ke-13 berjudul: “ West Papua: Persoalan Internasional” ( Yoman: 2011, hal.4).
”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).
*Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
“Pemerintah Indonesia Menduduki, Menjajah dan Memarjinalkan Orang Asli Papua”
Minggu, 29 April 2012
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
:.Kawan, ko penting. Beri Komentar ee?.: