“Bagaimana pun bodoh dan primitifnya suatu bangsa, ia akan tumbuh, berkembang dan memiliki naluri mempertahankan hidup” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Soekarno: Roman Zaman Pergerakan, 1985, 2002, hal. 122) ”Saya pikir persidangan ini lucu, masak yang punya tanah diadili oleh orang lain sebagai tamu di tanah ini. Papua adalah Negara kami sendiri dan saya berharap melakukan apa saja untuk menegakkan hukum dan kedaulatan Negara saya sendiri” (Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, Cenderawasih Pos, Rabu,29 Februari 2012, hal. 7)
*Oleh: Socratez Sofyan Yoman*
Bagi orang lain, terutama, para pendatang, pernyataan Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yamboisembut akan dianggap tidak mempunyai makna historis, nilai-nilai perjuangan. Tetapi, pernyataan seorang pemilik tanah adat ini Papua akan tercatat dalam sejarah kehidupan dan peradaban rakyat dan bangsa Papua Barat ke depan. Pernyataan ini akan hidup selamanya di tengah-tengah kehidupan anak dan cucu rakyat dan bangsa Papua Barat di kemudian hari.
Saya sependapat dengan suara seorang domba-domba Allah yang sedang digiring ke pengadilan yang palsu dan penuh dengan kebohongan ini. Saya sebagai salah satu gembala umat, mau sampaikan bahwa apa yang disampaikan Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yamboisembut, adalah 100% dapat dibenarkan dan diterima dengan logika sehat. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena, rakyat dan bangsa Papua Barat mempunyai pijakan yang jelas dan sumur-sumur air di atas Tanah leluhur mereka. Pijakan dan sumur-sumur air adalah sebagai berikut.
Pertama, perspektif Allah. Menurut pandangan Allah, siapakah sebenarnya manusia itu? Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…”(Kejadian 1:26). Dalam pernyataan Allah ini menjadi jelas bagi kita semua bahwa orang Melanesia yang hidup di Tanah dan Negeri mereka sendiri ini adalah bukan anggota Separatis, anggota OPM atau Pembuat Makar. Ini memberikan gambaran kepada kita semua bahwa baik orang kulit putih, berkulit hitam, berambut panjang dan berambut keriting adalah umat ciptaan TUHAN yang memiliki hak dan nilai serta derajat yang sama. Dengan demikian, orang Melayu, yang disebut Indonesia dan orang Melanesia yang disebut orang Papua adalah sama-sama ciptaan TUHAN, tidak ada lebih berkuasa, lebih hebat, lebih super di bumi ini. Dilarang saling menindas, memeras, menguasai dan menjajah atas nama apapun dan kepentingan apapun.
Kedua, Perspektif Orang Asli Papua atau orang Melanesia. Dalam sejarah kehidupan dan kelangsungan hidup nenek-moyang dan leluhur orang Melanesia memang tidak ada hubungan dengan orang-orang Melayu, Indonesia, yang sekarang sedang menduduki dan menjajah orang Melanesia ini. Orang Melanesia ini mempunyai cara pandang sendiri, budaya sendiri, bahasa sendiri, sisitem pendidikan sendiri, interaksi sosial sendiri dan sejarah bangsanya sendiri. Sejak Allah menjadikan manusia dan menempatkan setiap umat manusia di setiap benua, pulau sesuai dengan budaya, bahasa, etnis dan keunikannya masing-masing, dan Allah sendirilah dalam rencana-Nya menempatkan orang Melanesia ini di Tanah Papua Barat ini. Supaya mereka hidup, berkarya, dan melanjutkan hidup di Tanah ini. Nenek moyang dan leluhur orang Melanesia tidak pernah mewariskan stigma-stigma separatis, anggota OPM dan pembuat makar. Stigma-stigma yang merendahkan martabat umat Tuhan seperti itu terdengar dan dimulai sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini oleh Pemerintah Indonesia.
Ketiga, Perspektif Gereja. Tuhan Yesus Kristus menegaskan: “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyai dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). Lebih jauh Tuhan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Gembakanlah domba-dombaku” (Yohanes 21:15-18).
Adapun Amanat Agung Yesus kepada murid-murid-Nya: “kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).
Dalam semangat dan panggilan suci ini, dua missionaris Eropa, Johann Gotlob Geisller dan Carl William Ottow sebagai utusan Tuhan dan Gereja-Nya, tiba di tanah orang Melanesia, Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi, Pemilik Tanah dan Negeri Papua Barat, pada hari Minggu pagi, 5 Februari 1855, tepatnya di Teluk Doreh Mansinam, Manokwari. Mereka berkata, “Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami menginjak kaki di tanah ini”.
“Dua Missionaris dari Jerman ini datang ke tanah Melanesia kepada Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Papua, bertemu dengan orang Papua, bersahabat dengan orang Papua, tinggal dengan orang Papua, makan bersama dengan orang Papua, menghargai orang Papua, menghormati hak hidup orang Papua, mengakui martabat orang Papua, mengangkat kesamaan derajat orang Papua. Tidak pernah dan belum pernah melukai orang Papua secara fisik maupun mental. Ottow dan Geissler benar-benar menjadi sahabat setia orang Papua dalam suka dan duka. Ottow dan Geissler sebagai utusan TUHAN dan Gereja-Nya belum pernah bahkan tidak pernah memberikan stigma orang Papua seperti separatis, makar, OPM, primitif, kanibal, terbelakang, terbodoh, termiskin, tertinggal. Karena, kedua misionaris sebagai utusan TUHAN ini menyadari bahwa stigma-stigma seperti itu lebih layak digunakan oleh para penjajah, kolonial dan penindas” (baca: Opini: Gereja dan Separatisme di Tanah Papua Barat: Bintang Papua 28/02/12).
Peristiwa kehadiran gereja di tengah-tengah Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi, Pemilik Negeri dan Tanah ini, tanggal 5 Februari 1855 merupakan tonggak sejarah suci dan mulia, sejarah kemanusiaan dimana hadirnya Kabar Baik, keadilan, perdamaian yang bersumber dari Injil Yesus Kristus. Karena, Injil adalah kekuatan Allah yang membebaskan manusia dari belenggu dosa dan membebaskan manusia dari penindasan dan kolonialisme, menghargai hak asasi manusia, mengangkat martabat manusia, merobohkan benteng-benteng diskriminasi dan eksploitasi hidup manusia, menghapuskan tetesan air mata dan cucuran darah orang-orang kecil yang tertindas. “Roh Tuhan ada pada-Ku, untuk menyampaikan kabar baik, kepada orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19; Yesaya 61:1-2).
Gereja yang sudah berada di Tanah Papua Barat ini sejak 5 Februari 1855 sampai sekarang telah mencapai usia 153 tahun, menyadari bahwa orang Melanesia, orang Asli Papua, masyarakat Adat ditempatkan Allah di Tanah Melanesia di Papua Barat ini sejak Allah menjadikan manusia. Orang Melanesia, orang Asli Papua Barat, pemilik Tanah dan Negeri ini dan Gereja datang dan hidup bersama orang Asli Papua barat ini, menyaksikan, mengamati, mengalami bahwa Pemerintah Indonesia datang sejak tanggal 1 Mei 1963 dan sampai saat ini menempatkan Orang Asli Papua Barat, Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi ini sebagai musuh Negara dengan stigma-stigma anggota OPM, anggota Separatis, dan pembuat Makar. Umat Tuhan, Masyarakat Adat, penduduk Pribumi ini dikejar dan ditangkap seperti hewan buruan, dipenjarakan, diculik, ditembak, dibunuh dan disiksa atas nama kepentingan dan keamanan integritas wilayah nasional.
Sebagai Gereja yang menyuarakan SUARA KENABIAAN dan advokasi pastoral menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI dan POLRI dan Hakim menjaga integritas wilayah nasional Indonesia (NKRI). Sebaliknya, Gereja dengan tetap konsisten dan bertanggugjawab untuk menggembalakan dan menjaga integritas manusia sebagai ciptaan Tuhan sesuai dengan tujuan dan misi Gereja di Tanah Papua Barat ini sejak 5 Februari 1855 sampai kepada akhir Pengadilan TUHAN yang lebih ADIL sesuai dengan janji-janji Firman TUHAN. Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu tidak memberitahukan kepada Gereja bahwa Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi, Penduduk Asli itu Anggota Separatis, anggota OPM dan Pembuat Makar. Alkitab memberitahukan Gereja bahwa Penduduk Pribumi itu adalah umat Tuhan yang diciptakan sesuai gambar dan rupa ALLAH. Mereka perlu hidup. Mereka perlu dihargai dan dihormati hak-hak kemerdekaan politik dan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hak-hak yang lain. Seperti ada Motto dalam perspektif Militer bahwa “TNI AD Adalah Benteng Terakhir Penjaga Integritas NKRI”, maka “ GEREJA Adalah Benteng Terakhir Penjaga Integritas Manusia Sebagai Ciptaan dan Gambar Allah” (Kejadian 1:26).
Keempat, Perspektif Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia, TNI, POLRI, dan Hakim selalu mengkleim bahwa Tanah dan Rakyat Papua Barat adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan sejarah Perjanjian New York 15 Agustus 1962; 1 Mei 1963 dan Act of Free Choice 1969 (PEPERA 1969). Proses sejarah integrasi ini menjadi dasar bagi Indonesia, TNI, POLRI dan hakim, bahwa Papua Barat adalah bagian sah dari wilayah Indonesia.
Namun demikian, dari penelitian dan kajian ilmiah tentang sejarah PEPERA 1969 yang dilakukan oleh Dr. John Salford, Akademisi Inggris, Prof. JP Drooglever, sejarawan Belanda, dan Penelitian saya sendiri dalam buku yang berjudul : Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM, telah membuktikan bahwa Tanah dan Rakyat Papua Barat menjadi korban konspirasi politik global dengan kepentingan ekonomi dengan isu bahaya komunisme di Asia Pasifik. Bahkan kesimpulan tegas dari Dr. John Saltford dan Prof. JP Drooglever ialah Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969) adalah sangat memalukan dan mengorbankan masa depan penduduk asli Papua Barat.
Sementara dipihak rakyat dan Bangsa Papua Barat ini menyadari dan mengetahui bahwa peristiwa dan sejarah Act of Free Choice (PEPERA 1969) adalah cacat moral dan cacar hukum serta palsu. Karena, itu rakyat dan Bangsa Papua Barat ini selalu dan terus-menerus melakukan perlawanan dan penolakan dengan berbagai bentuk sampai hari ini. Karena, perbedaan yang tajam ini, umat Tuhan di Tanah Papua terus menjadi korban di tangan Pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI, POLRI dan berbagai produk hukum yang menindas umat Tuhan.
Intinya, Karena orang Melayu, Indonesia, Pemerintah, TNI dan POLRI yang datang menduduki dan menjajah Tanah dan orang asli Papua ini belum memiliki pemahaman yang betul tentang sejarah, kebudayaan orang Melanesia. Mereka selalu tampil sebagai pahlawan, penyelamat dan pemilik kebenaran dan datang menolong dan membangun orang Papua. Pada kenyataannya ialah ada empat agenda pokok Indonesia di Tanah Papua Barat ini, yaitu: kepentingan ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan, kepentingan pemusnahan etnis Melanesia. Untuk mencapai empat agenda besar ini, Pemerintah, TNI dan POLRI dan Hakim selalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menyembunyikan pembohongan mereka. Melalui proses pembohongan dan ruang rekayasa Pemerintah Indonesia berhasil mengintegrasikan ekonomi, politik dan keamanan ke dalam Indonesia dan menindas dan memperlakukan orang asli Papua seperti hewan. Seperti Dominggus Sorabut menyatakan: “ Saya menolak pemeriksaan polisi atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan keempat terdakwa lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti binatang.” Sementara, Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya: “ ...saya sudah muak mengikuti persidangan serta tak mau lagi memberikan keterangan.” (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012). Perilaku dan watak kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal meng-Indonesia-kana dan mengintegrasikan orang asli Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia. Maka Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar berada di luar bingkai dan kerangka serta konstruksi integrasi NKRI”.
Kelima, Perspektif Sejarah (Historis). Rakyat dan Bangsa Papua Barat memiliki latar belakang sejarah berdirinya sebuah Negara sejak tanggal 1 Desember 1961. Lengkap dengan atribut kenegaraan, yang meliputi: Anggota Parlemen (Dewan New Guinea Raad), Bendera: Bintang Kejora. Lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua. Penduduk: Orang Asli Papua Barat dari Sorong sampai Merauke. Wilayah: Dari Sorong sampai Merauke. Dan orang Melayu, Indonesia juga memeiliki sejarah sendiri yaitu: 17 Agustus 1945; 19 Desember 1961 (TRIKORA); 1 Mei 1963 (Awal dimulainya malapetaka bagi orang asli Papua); 15 Agustus 1962 Perjanjian New York (tidak melibatkan orang asli Papua Barat); Act of Free Choice (PEPERA) 1969 adalah sejarah cacat moral dan hukum serta palsu. Lebih lengkapnya, membeli buku : Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM (2005); Pemusnahan Etnis Melanesia (2007) yang sudah dilarang Kejaksaan Agung khusus dalam bab 2; dan Suara Gereja Bagi Umat Tertindas (2008) di bab 2. Integrasi Belum Selesai (2010) West Papua: Persoalan Internasional (2011). Keenam, perspektif pelanggaran HAM (Human Rights Violence) sejak 1 Desember 1961 sampai sekarang ini. Sejarah integrasi Tanah dan Rakyat Papua Barat ke dalam Republik Indonesia adalah sejarah berdarah. Sejarah yang penuh dengan kekejaman dan tragedi kemanusiaan. Tanah dan Rakyat Papua Barat dimasukkan secara paksa ke dalam Indonesia melalui berbagai bentuk Perjanjian Internasional dan manipulasi PEPERA 1969 demi kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia. Akibat kekerasan Negara sistimatis melalui kekuatan TNI,POLRI dan perangkat hukum Indonesia melahirkan trauma, budaya bisu, budaya takut, budaya diam dalam diri orang asli Papua Barat. Berbagai bentuk peristiwa pengejaran, penangkapan tanpa prosedur, pemenjaraan, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, penghilangan paksa, penculikan dan pemerkosaan menjadi bagian hidup orang asli Papua yang dicurigai sebagai musuh Negara. Peristiwa yang memilukan hati ini terus berlangsung sampai hari ini dalam era UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dalam bentuk modifikasi atau bentuk lain. Tidak ada jaminan perlindungan terhadap hak-hak dasar dan kelangsungan hidup orang asli Papua. Masa depan orang asli Papua Barat dalam era Otonomi Khusus semakin terancam dan suram serta sangat memprihatinkan.
Ketujuh, perspektif Pembangunan yang diskriminatif dan eksploitatif. Orang Melayu, Indonesia sangat bangga karena mereka selalu mengukur kemajuan dan pembangunan dari gedung-gedung besar, megah, hotel-hotel mewah, toko-tokoh megah dan bertingkat, jalan-jalan beraspal, jembatan-jembatan besi dan beton. Tetapi, pertanyaannya ialah milik siapa semuanya itu? Kemanakah orang asli Papua? Manfaat apa yang didapat oleh orang Melanesia ini? Sebenarnya ialah terjadi penghancuran dan pembunuhan secara sistematis secara ekonomi, pendidikan, kesehatan terhadap orang asli Papua. Atas nama pembangunan nasional semua gunung-gunung dihancurkan, air jernih dikaburkan dan dikotorkan sehingga tidak layak diminum. Tanah-tanah penduduk asli dirampas untuk penempatan Transmigrasi dan Perusahaan Kepala Sawit. Penduduk asli Papua diusir dengan kekerasan moncong senjata dengan alasan melawan pembangunan nasional dan lebih ekstrim adalah anggota OPM dan Separatis yang perlu ditumpas. Orang asli Papua benar-benar menuju pemusnahan secara perlahan dari atas Tanah dan Negeri mereka ini. Kongresmen, Eni F. Faleomavaega, anggota Kongres Amerika pernyatakan di Papua Barat sedang terjadi : “ slow motion genocide.”
Kedelapan, Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otinomi Khusus yang gagal. Otononi Khusus adalah solusi politik atau bargaining politik antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, untuk melindungi rakyat Papua, pemperdayaan orang asli Papua, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tetapi, ”dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.”(baca: Opini saya: Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua: Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5).
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Ibu Shirin Ebadi, wanita Iran, Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pernah mengatakan: “Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi para penindas yang menindas kami.” Shalom. Tuhan memberkati kita. Tuhan memberkati dan melinduni domba-domba Allah yang sedang diadili dan hakim-hakim yang sedang mengadili kebenaran sejarah rakyat dan bangsa Papua.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
0 komentar:
Posting Komentar
:.Kawan, ko penting. Beri Komentar ee?.: