Weblog | Members area : Sonny Dogopia | Sign in

"...I Believe in my life, with Jesus christ..." ~Sonny Dogopia's Motto~


Translate This Weblog


Diri ku sayang, diri ku malang

Minggu, 29 April 2012



by Sonny Dogopia*)

(Foto: Google.com/facebook)

 


Di kala matahari membangunkan saya
Sa kagum melihat semua-semua ciptaan Tuhan
apa lagi Bumi pemberian Tuhan, Bumi Papua
di sanalah sa merasa berada di sorga yang Hampa

Hidup di Bumi papua ini,
seakan-akan hidup di padang pasir
oh sayangnya diri saya ini
saya yang gagah berdiri di sana

Namun, lemah dan tak berdaya
hidup dirimba amunisi,
hidup di rimba strategi yang mematahkan saya
oh, malangnya diri saya

oh.... diri-ku sayang, diri-ku malang
dari mana ku harus memulainya,
kapankah saya memulainya,
apa yang harus saya siapkan,
siapakah yang hendak membantu saya...

oh... diri-ku sayang, diri-ku malang
hanya tak terhingga pertanyaan yang selalu menemaniku
oh sayangnya hidup di air darah ini...
tak terhingga pertanyaan. Namun, satu jawaban dengan satu kata, “LAWAN.”.

SUARA MU SPIRIT JIWA JUANG KU


 -> Suara Papua
(Foto: Seniman dan Musisi Papua, Arnold Clemens Ap)

Oleh: Marthen Goo


Arnold Ap, itulah nama mu...
Nama yang termasyur di jiwa dan raga dalam juang ku...
Alunan suara mu, seakan membakar jiwa tuk harus berjuang dengan penuh kesemangatan...

Engkau boleh dibunuh 28 tahun yang lalu...
Engkau boleh dihilangkan karena kenafsuan para manusia kanibal....

Namun engkau seakan api membara di hati dan jiwa...
Engkau Seakan Harapan Baru Dalam kesemanagatan tuk bangkit juang...

Arnol, Engkau Patriot Bangsa Papua ku...
Engkau Pahlawan kebenaran ku....

Semangat juang mu kan ku teruskan hingga ajal hidup ku, demi sebuah kebenaran di Bumi Papua kita.

(Sumber: kiriman di Facebook, Kamis (26/04) Pukul 20:32 WJ)

Sejarah: HUT Kemerdekaan Papua Barat, BUKAN HUT OPM!



Meluruskan bahasa Media Nasional yang mengatakan, "HUT OPM."


Sonny Dogopia – Fakta  Sejarah Papua Barat didukung secara Hukum dan Moral bahwa Papua Barat merdeka pada, tanggal 01 Desember 1961 secara sah.

Namun, entah mengapa Hukum ini “dilencengkan” dan Moral secara manusiawi dilumpuhkan oleh “kepentingan.” Sehingga, Papua Barat masih dalam NKRI secara Ilegal dan Amerika-Belanda  masih dalam sebuah “kepentingan ekonomi” atas Sumber Daya Alam di Papua.

Dalam Sejarah Kemerdekaan Papua Barat, tidak dikatakan bahwa Bangsa OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ini adalah Sejarah baru yang ditimbulkan oleh NKRI agar memecahkan pandangan secara umum maupun khusus.

Pada intinya OPM itu identik dengan mereka yang membelah hak-hak dasar rakyat Papua, hak atas Tanah Ulayatnya yang dirampas secara paksa, dan memperjuangkan nilai kemanusiaan. Bukan meminta Negara baru yang disebut OPM.

OPM bagi NKRI adalah separatis, teroris, dan sejenisnya. Hal ini memudahkan rezim imperialisme dan menyuruh budaknya (Militer)  untuk membasmi OPM. Karena, OPM adalah penghambat bagi pengeksploitasian Perusahan-perusahan yang terus menggurita.

Media yang dimiliki oleh SISTEM akan mengarah ke SISTEM. Suara anak Bangsa yang menangis adalah murni yang diangkat dari kenyataan dan Fakta.


Baca, Referensi
1. Sejarah singkat, http://www.westpapua.net/about/wp/history.htm.

2. West Papua: from COLONISATION to RECOLONISATION, op.cit. [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]

3. Dinas Sejarah Militer TNI-AD: “Cuplikan sejarah perjuangan TNI-AD, 1972;462.

4. Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian) (Signed at the Headquarters of the United Nations, New York, on 15 August 1962) Isi New York Agreement ada di [Versi revisi setelah Rome Joint statement: http://www.westpapua.net/docs/nya.htm dan Versi aslinya revisi di Roma: [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part09.htm]

5. The Rome Agreement between  the Republic  of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands on West Irian, 30 September 1962, [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]

6. The Rome Joint Statement, text of the Joint statement Following the Discussions Held Between the Netherlands Minister of Foreign Affairs Mr. Luns and the Netherland Minister for Development Cooperation Mr. Udink with the Indonesian Minister For Foreign Affairs Mr. Malik in Rome on 20th and 21st May, 1969. [http://www.westpapua.net/docs/rome-agreement.htm]

7. UNITED NATOINS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF – DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969, By John Saltford: 19. [http://www.westpapua.net/docs/books/book0/un_wp.doc]

8. Ini patokan tanggal Megawati untuk mengumumkan pembunuh Theys H. Eluay. Tetapi, ingkar janji (tipu). Janji Mega, 01 Mei 2002, itu mengingatkan kita pada 39 Tahun silam, yaitu tanpa sebuah proses demokrasi, tanpa masa persiapan yang memadai, tanpa konsultasi dengan orang Papua atau pun perwakilannya, dengan resmi PBB menyerahkan West Papua ke tangan NKRI.

9. Walaupun PEPERA sarat dengan pelanggaran HAM, yang kami maksud adalah peristiwa itu belum terjadi. Tetapi, West Papua sudah jatuh ke tangan NKRI karena hasil memorandum rahasia Roma itu.

10. P.J. Drooglever, 2005

UP4B: SESAT PIKIR INDONESIA DI PAPUA



by John Pakage on Saturday, February 25, 2012 at 10:24am


(Foto: Sumber)


PEMERINTAH telah menyatakan pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua selama 10 tahun ini gagal. Pmerintah Indonesia tidak mampu melaksanakan amanat Undang-Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.


"Beberapa organ yang dibentuk dan tata kelola tidak berjalan sebagaimana mestinya," kata Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan di Jakarta.

Karena itu Pemerintah pusat telah membentuk sebuah unit untuk menggantikan posisi kegagalan otsus membangun papua dalam Indonesia. Unit sebagai pengganti undang-undang otsus ini berada dibawah wakil presiden Indonesia.

Demi meyakinkan public internasional maupun nasional maka Wakil Presiden (Wapres) Boediono mengklaim bahwa pemerintah telah melakukan pendekatan baru dalam menangani masalajh Papua. Pembentukan Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) disebut Wapres sebagai upaya beru pemerintah untuk menyelesaikan masalah di Papua.

Ironisnya justru perwakilan pemeritah Indonesia di papua melalui Gubernur Papua menyatakan otsus tidak gagal. Perbedaan pendapat oleh aparat Pemerintah Indonesia membuat orang Papua bertanya. Mana berita yang benar dan tidak sesat pikir.

Gubernur Provinsi Papua, Syamsul Arief Rivai, mengatakan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua yang sudah berjalan 10 tahun, tidak gagal. Pasalnya, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua menunjukan bahwa dalam 10 tahun telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penurunan kemiskinan.
Jika Pemerintah Indonesia di papua menilai otsus berhasil maka tentu hendak mengatakan bahwa up4b tidaklah penting dan bukan solusi tepat karena tugas seperti ini cukup dibawah koordinasi gubernur Papua.

Sebaliknya pemerintah Indonesia di Jakarta menilai otsus gagal dan membentuk up4b sebagai solusinya dengan mengirim seorang Letnan Jenderal (Purn) Bambang Darmono sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Ini tentu mengabaikan peran seorang gubernur.

Jika dalam waktu dekat wakil presiden telah mengaktifkan kantor up4b di Papua maka akan ada dualisme perwakilan Indonesia ditingkatan Propinsi Papua . ada gubernur dan ada kepala Unit.

Jika demikian kebijakan siapa yang dianggap mewakili Indonesia di Papua? apakah kebijakan gubernur atau kepala unit?. Kebijakan dualism yang dapat sama kata dengan “sesat pikir “Indonesia di Papua.

Sesat pikir babak selanjutnya adalah sebuah Undang-undang nomor 21 tahun 2001 yang lebih besar kewenangan daerah yang mana diharapkan mampu membuktikan keberhasilan Indonesia bangun papua telah gagal total. Apalagi jika Indonesia hendak membangun Papua dengan berdasar atas sebuah unit percepatan yang tak memiliki payung hukum yang lebih besar. Tentu hanya menjadi program yang sia-sia.

Dengan kata lain pembangunan papua dalam Indonesia melalui kebijakan khusus sekaliber uu otsus saja telah gagal total membangun kepercayaan orang papua terhadap Indonesia, apalagi hanya melalui sebuah unit percepatan semata.

Tiga tahun up4b akan ada di Papua, saat ini sudah dapat diprediksi lagi akan gagal. Setelah itu kebijakan sesat pikir apa yang akan muncul lagi?

Tentu selalu gagal sejauh Indonesia tidak libatkan orang Papua dalam sebuah dialog yang dimediasi oleh pihak independen. Mengapa perlu dialog? Karena sejak Indonesia ada di Papua selalu gagal membuat orang Papua bagian dari Indonesia. Dan mengapa pihak independen perlu untuk memediasi dialog antara para pihak yang bersengketa? Karena sudah lama Indonesia dan papua saling gagal untuk bersatu.


John Pakage *)

KEKAYAAN PAPUA DITENGAH PERGOLAKAN DUNIA



 (Foto: facebook.com/Yusak Pakage)


by John Pakage on Thursday, April 5, 2012 at 11:14pm ·

(Indonesia, China, Austrlia,dan Amerika)

Pemerintah mewajibkan perusahaan tambang asing mendivestasikan sahamnya secara bertahap paling sedikit 51 persen kepada mitra Indonesia. Divestasi harus dilakukan setelah lima tahun hingga tahun ke 10, sejak perusahaan itu berproduksi.

Yang dimaksud mitra Indonesia adalah pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau perusahaan swasta nasional.

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2012. Termasuk juga PT Freeport yang mana Saat ini, sebanyak 90,64% kepemilikan saham Freeport Indonesia dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yaitu Freeport Mc MoRan, termasuk di dalamnya 9,36% dikuasai lewat anak usahanya PT Indocopper Investama. Sementara sisanya, sebanyak 9,36% dipegang oleh pemerintah Indonesia.

Menaggapi peraturan PP tersebut PT Freeport Indonesia menyatakan tak akan ikut dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2012 yang mewajibkan perusahaan tambang asing menjual 51% saham ke pihak Indonesia. Pasalnya, secara hukum Freeport hanya akan mengikuti aturan Kontrak Karya (KK) yang sudah dilakukan dua kali sejak tahun 1967.

Menurut Presiden Direktur Freeport Rozik B Soetjipto, dalam KK tersebut, Freeport hanya diwajibkan mendivestasi kepemilikan sahamnya hingga sebanyak 20% tanpa adanya batas waktu.

Sementara Pemegang saham 9,36 persen lainnya adalah   PT Indocopper Investama adalah perusahaan tambang milik Group Bakrie. Entah mengapa begitu membaca perusahaan tambang milik Group Bakrie tiba-tiba jadi teringat kasus Lapindo di Sidoarjo? Ya, semburan lumpur Lapindo telah menyengsarakan kehidupan warga Porong, Sidoarjo hingga kini.
Bukan rahasia lagi bahwaOperasi PT Freeport hingga saat ini telah dihentikan operasinya dan dampaknya kerugian para pemegang saham didepan mata. Tidak beroparasinya perusahaan raksasa ini juga turut menyumbang krisis ekonomi diberbagai negara. Termasuk Indonesia.

Walaupun Pemerintah Indonesia hanya menerima 9,36 persen saham Freeport tetapi akan berpengaruh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk mengantisipasi dampaknya Pemerinth Indonesia telah menambah dana yang tak sedikit. Lihat saja Defisit anggaran dalam APBNP 2012 naik menjadi Rp 190,1 triliun (2,23 persen) dari PDB, naik sebesar Rp 66,1 triliun apabila dibandingkan dengan defisit anggaran dalam APBN 2012 yang ditetapkan sebesar Rp 124 triliun (1,5 persen PDB).

Batalnya kenaikan harga BBM bersubsidi membuat pemerintah harus mencari dana tambahan untuk membiayai besaran subsidi yang membengkak. Selain optimalisasi pendapatan, pemerintah akan menambah utang baru sebesar Rp 25 triliun.
Tentu Pemerintah Indonesia selama ini sudah ada fasilitas pembiayaan dari China melalui skema PBC (Prefential Buyers Credit) atau kredit lunak dengan jumlah sebesar US$ 1 miliar, tapi sudah teralokasi untuk pembiayaaan proyek-proyek terutama energi dan transportasi.

Tentu pemerintah China telah menyatakan kesiapannya untuk memberi bantuan lunak kepada Indonesia seperti selama ini telah ada kerja sama yang cukup erat antar dua negara ini.

Dalam situasi ekonomi dan politik dalam negeri serta di regional terus memanas Amerika telah mengirim Pasukan pertama dari 2500 tentara elit Amerika yang akan diturunkan untuk membantu pertahanan Australia, Rabu (4/4) tiba di negara itu.

Mereka tiba di pusat pelatihan gabungan bersama sebagai bagian dari perubahan kebijak an militer AS di kawasan Asia Pasifik. AS mengirim militer untuk mengamankan persaingan kekuatan senjatanya di Asia, dimana khususnya Cina, sedang memperluas kekuatan militernya.

Barak militer di Darwin tersebut berada sekitar 800 kilometer dari wilayah Indonesia. Hal itu memungkinkan tentara bertindak cepat terhadap masalah kemanusiaan dan keamanan di Asia Tenggara. Langkah penempatan pasukan ini sebelumnya telah membuat marah Beijing. Cina mengatakan, langkah itu bisa mengikis kepercayaan dan membuat perang dingin baru.

Perlu diperhatikan adalah Pemerintah Indonesia tidak memberi kenyamanan bagi operasinya perusahaan Freeport akibatnya terjadi banyak insiden yang membuat karyawan tidak aman lagi padahal Tentara dan Polisi Indonesia telah menerima dana keamanan dari Freeport dalam jumlah yang besar.

Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2012 lalu yang mana mewajibkan Freeport untuk mendivestasikan sahamnya secara bertahap paling sedikit 51 persen padahal dalam kontrak kerja yang dibuat bertentangan dengan peraturan baru ini. Tentu ini bisa membuat Amerika mengalami kerugian walaupun Amerika telah menerima keuntungan yang tak sedikit dari tanah Papua.

Ketiga, sementara perang dingin dan ketegangan  antara Amerika dan china terus meningkat Indonesia terus mengadakan komunikasi yang baik dengan China. Seperti selama ini pemerintah Indonesia telah mendapatkan bantuan lunak dalam jumlah yang tak sedikit dari China.

Situasi ini tentu berpengaruh pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terus mendapat kontra produktif dari beberapa partai politik atas kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak.

Yang luput dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 adalah berapa persen yang semestinya orang Papua sebagai pemilik hak ulayat tempat beberapa perusahaan asing beroperasi. Misalnya Freeport dan BP Tangguh di Bintuni, Papua Barat.

# John Pakage

Gereja-Gereja di Tanah Papua Harus Berjuang Bersama Rakyat Papua

Category: Opini Created on Wednesday, 29 February 2012 Published Date
(Sumber: suarapapua.com)




Yan Christian Warinussy (Foto: http://www.frontlinedefenders.org/node/1221)
Oleh Yan Christian Warinussy*

Pada tanggal 16 Desember 2011 yang lalu, 4 (empat) tokoh pimpinan Gereja-Gereja di Tanah Papua, masing-masing Pdt. Ny. Jemima Krey, S.Th (Sinode Gereja Kristen Injili/GKI di Tanah Papua), Pdt. Socratez Sofyan Yoman, M.A (Sinode Gereja-Gereja Baptis di Tanah Papua); Pdt. Dr. Benny Giay, M.Th (Sinode Gereja Kemah Injil di Tanah Papua) dan Pdt. Dr. Marthen Luther Wanma (Gereja Kristen Alkitab Indonesia/GKAI) telah berkesempatan bertemu dan berkomunikasi secara terbuka dengan Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono di kediaman pribadinya di Cikeas-Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan tersebut para tokoh Gereja telah menyampaikan sebuah surat seruan dari Gereja-gereja di Tanah Papua tentang situasi sosial-politik dan aspirasi rakyat Papua secara terbuka, sistematis dan terhormat kepada Kepala Negara dalam 7 (tujuh) halaman folio.

Rekomendasi yang disampaikan oleh keempat pimpinan Gereja di Tanah Papua ketika itu menegaskan bahwa cara penyelesaian atas berbagai persoalan di Tanah Papua hanya bisa dilakukan melalui dialog inklusif antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.

Setelah menerima kedatangan keempat pimpinan Gereja dari Tanah Papua tersebut, Presiden SBY kemudian menyampaikan bahwa dirinya kan mengundang para pemimpin Gereja tersebut untuk bertemu kembali pada bulan Januari 2012, tepatnya tanggal 17 Januari 2012, tapi kemudian diundurkan menjadi 25 Januari 2012.
Akan tetapi ternyata pertemuan kedua tersebut gagal dilaksanakan karena alasan yang dikemukakan oleh Presiden bahwa Kepala Negara ini tersinggung dengan kata-kata dari para pimpinan Gereja dari Papua tersebut pada pertemuan pertama (16/12/2011) lalu.

Kendatipun pertemuan kedua dengan keempat pimpinan Gereja dari Papua dan Papua Barat tersebut gagal, namun Presiden SBY dengan keterlibatan Menko Polhukam dan Staf Khusus Presiden Dr. Felix Wanggay telah bertemu lagi dengan sekitar 13 orang pimpinan Gereja lain dari Tanah Papua yang difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) di bawah pimpinan Ketuanya Pdt. Lipiyus Biniluk, S.Th dan juga hadir Ketua STFT Fajar Timur Pater Dr. Neles Tebay.
Mereka para pemimpin Gereja yang difasilitasi PGGP ini dapat bertemu Presiden pada tanggal 1 Februari 2012 yang lalu di Wisma Negara-Jakarta dan berlangsung secara tertutup.

Dalam pemberitaan di Harian Umum KOMPAS, (2/2) disebutkan bahwa dalam dialog ke-13 pemimpin Gereja tersebut dengan Presiden SBY telah disepakati upaya untuk mendorong dialog yang intensif dengan berbagai unsur di Tanah Papua, dan Presiden SBY menyambut baik pendapat perwakilan tokoh gereja yang ingin mewujudkan Papua yang damai.
Para pemimpin gereja-gereja di Tanah Papua mendukung inisiatif Presiden SBY dan pemerintah pusat untuk mencari solusi dan langkah-langkah terbaik bagi masalah Papua melalui dialog terbuka dengan rakyat Papua. Sehingga untuk berdialog ada baiknya melibatkan 9 (Sembilan) unsur dalam masyarakat agar mencapai hasil masksimal.
Kesembilan pihak yang dimaksud oleh 13 Pemimpin Gereja tersebut ialah: masyarakat asli Papua, masyarakat Indonesia lainnya (non-Papua),  pemerintah daerah (Propinsi maupun Kabupaten/Kota) di Papua dan Papua Barat, POLRI, TNI, perusahaan multinasional ataupun domestik, pemerintah pusat, para gerilyawan (TPN/OPM) dan orang-orang Papua yang hidup di luar negeri.

Berkenaan dengan kedua pertemuan tersebut, saya sebagai Advokat Hak Asasi Manusia dan selaku Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari menyarankan agar para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua, baik di Propinsi Papua dan Papua Barat untuk terus konsisten berjuang bersama rakyat Papua dalam meyuarakan aspirasi sosial-politik mereka yang sudah mengemuka di dunia selama ini.

Langkah para pemimpin Gereja baik dalam pertemuan pertama (16/12/2011) maupun pertemuan kedua (1/2/2012) dengan Presiden SBY adalah merupakan suatu langkah maju dan sangat berani serta cukup tegas sebagai bagian dari langkah provetis Gereja dalam memperjuangkan penghapusan penindasan terhadap umatnya yang selama ini menderita diatas tanah leluhurnya sendiri. Ini penting dan perlu diteruskan oleh seluruh denominasi gerja yang ada di atas Tanah Papua.

Dengan demikian adalah sangat baik jika saat ini keempat Pimpinan Gereja yang sudah bertemu Presiden pada bulan pertengahan Desember 2011 dan Ketua PGGP Pdt.Lipiyus Biniluk dan Pater Dr. Neles Tebay duduk bersama dan merancang langkah-langkah lanjutan yang perlu diwujudkan sebagai tindak lanjut dari kedua pertemuan tersebut, dan bersama dengan umatnya semua berjuang untuk mewujudkan segera penyelenggaraan Dialog Papua-Indonesia itu sendiri dalam waktu dekat ini.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari

Sejarah: Di Sini, Kami Berdiri!

Category: Opini Created on Thursday, 08 March 2012 Published Date
(Sumber: suarapapua.com)




Socratez Sofyan Yoman (Foto: Ist)
“Bagaimana pun bodoh dan primitifnya suatu bangsa, ia akan tumbuh, berkembang dan memiliki naluri mempertahankan hidup” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Soekarno: Roman Zaman Pergerakan, 1985, 2002,  hal. 122) ”Saya pikir persidangan ini lucu, masak yang punya tanah diadili oleh orang lain sebagai tamu di tanah ini. Papua adalah Negara kami sendiri dan saya berharap melakukan apa saja untuk menegakkan hukum dan kedaulatan Negara saya sendiri” (Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, Cenderawasih Pos, Rabu,29 Februari 2012, hal. 7)

*Oleh: Socratez Sofyan Yoman*

Bagi orang lain, terutama, para pendatang, pernyataan Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yamboisembut  akan dianggap tidak mempunyai makna historis, nilai-nilai perjuangan. Tetapi,  pernyataan seorang pemilik tanah adat ini Papua  akan tercatat dalam sejarah kehidupan dan peradaban rakyat dan bangsa Papua Barat ke depan.  Pernyataan ini akan hidup selamanya di tengah-tengah  kehidupan anak dan cucu rakyat dan bangsa Papua Barat di kemudian hari.

Saya sependapat dengan suara seorang domba-domba Allah yang sedang digiring ke pengadilan yang palsu dan penuh dengan kebohongan ini. Saya sebagai salah satu gembala umat, mau sampaikan bahwa apa yang disampaikan Ketua Dewan Adat Papua,  Forkorus Yamboisembut,  adalah  100% dapat dibenarkan dan diterima dengan logika sehat.  Mengapa saya mengatakan demikian? Karena, rakyat dan bangsa Papua Barat mempunyai pijakan yang jelas dan sumur-sumur air  di atas Tanah leluhur mereka. Pijakan dan sumur-sumur air adalah sebagai berikut.  

Pertama, perspektif Allah.  Menurut pandangan Allah, siapakah sebenarnya manusia itu?  Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…”(Kejadian 1:26).  Dalam pernyataan Allah ini menjadi jelas bagi kita semua bahwa orang Melanesia yang hidup di Tanah dan Negeri mereka sendiri ini adalah bukan anggota Separatis, anggota OPM atau Pembuat Makar.  Ini memberikan gambaran  kepada kita semua bahwa baik orang kulit putih, berkulit hitam, berambut panjang dan berambut keriting adalah umat ciptaan TUHAN yang memiliki hak dan nilai serta derajat yang sama.  Dengan demikian, orang Melayu, yang disebut Indonesia dan orang Melanesia yang disebut orang Papua  adalah  sama-sama ciptaan TUHAN, tidak ada lebih berkuasa, lebih hebat, lebih super di bumi ini. Dilarang saling menindas, memeras, menguasai dan menjajah atas nama apapun dan kepentingan apapun.

Kedua,  Perspektif Orang Asli Papua atau orang Melanesia.  Dalam sejarah kehidupan dan kelangsungan hidup nenek-moyang dan leluhur orang Melanesia memang tidak ada hubungan dengan orang-orang Melayu, Indonesia,  yang sekarang sedang menduduki dan menjajah orang Melanesia ini. Orang Melanesia ini mempunyai cara pandang sendiri, budaya sendiri, bahasa sendiri, sisitem pendidikan sendiri, interaksi sosial sendiri dan sejarah bangsanya sendiri.  Sejak Allah menjadikan manusia dan menempatkan setiap umat manusia di setiap benua, pulau sesuai dengan budaya, bahasa, etnis dan keunikannya masing-masing, dan Allah sendirilah dalam rencana-Nya  menempatkan orang Melanesia ini di Tanah Papua Barat ini. Supaya mereka hidup, berkarya, dan melanjutkan hidup di Tanah ini.   Nenek moyang dan leluhur orang Melanesia tidak pernah mewariskan stigma-stigma separatis, anggota OPM dan pembuat makar.  Stigma-stigma yang merendahkan martabat umat Tuhan seperti itu terdengar dan dimulai sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini oleh Pemerintah Indonesia.

Ketiga, Perspektif Gereja.  Tuhan Yesus Kristus menegaskan: “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyai dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). Lebih jauh Tuhan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Gembakanlah domba-dombaku” (Yohanes 21:15-18).

Adapun Amanat Agung Yesus  kepada murid-murid-Nya: “kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu  yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).

Dalam semangat dan panggilan suci ini, dua missionaris Eropa, Johann Gotlob Geisller dan Carl William Ottow sebagai utusan Tuhan dan Gereja-Nya,   tiba di tanah orang Melanesia, Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi, Pemilik Tanah dan Negeri Papua Barat, pada hari Minggu pagi, 5 Februari 1855, tepatnya di Teluk Doreh Mansinam, Manokwari.  Mereka berkata, “Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami menginjak kaki di tanah ini”.

“Dua Missionaris dari Jerman ini datang ke tanah Melanesia kepada Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Papua, bertemu dengan orang Papua, bersahabat dengan orang Papua, tinggal dengan orang Papua, makan bersama dengan orang Papua, menghargai orang Papua, menghormati hak hidup orang Papua, mengakui martabat orang Papua, mengangkat kesamaan derajat orang Papua. Tidak pernah dan belum pernah melukai orang Papua secara fisik maupun mental.  Ottow dan Geissler benar-benar menjadi sahabat setia orang Papua dalam suka dan duka.  Ottow dan Geissler sebagai utusan TUHAN dan Gereja-Nya belum pernah bahkan tidak pernah memberikan stigma orang Papua seperti separatis, makar, OPM, primitif, kanibal, terbelakang, terbodoh, termiskin, tertinggal.   Karena, kedua misionaris sebagai utusan TUHAN ini menyadari bahwa stigma-stigma seperti itu lebih layak digunakan oleh para penjajah, kolonial dan penindas” (baca: Opini: Gereja dan Separatisme di Tanah Papua Barat: Bintang Papua 28/02/12).

Peristiwa kehadiran gereja di tengah-tengah Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi, Pemilik Negeri dan Tanah ini, tanggal 5 Februari 1855   merupakan tonggak sejarah suci dan mulia, sejarah kemanusiaan  dimana hadirnya Kabar Baik, keadilan, perdamaian yang bersumber dari Injil Yesus Kristus.  Karena,  Injil adalah kekuatan Allah yang membebaskan manusia dari belenggu dosa dan membebaskan manusia dari penindasan dan kolonialisme,  menghargai hak asasi manusia,  mengangkat martabat  manusia,  merobohkan benteng-benteng diskriminasi dan eksploitasi hidup manusia, menghapuskan tetesan air mata dan cucuran darah orang-orang kecil yang tertindas. “Roh Tuhan ada pada-Ku, untuk menyampaikan kabar baik, kepada orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19; Yesaya 61:1-2).

Gereja yang sudah berada di Tanah Papua Barat ini sejak  5 Februari 1855  sampai sekarang telah mencapai usia 153 tahun, menyadari bahwa orang Melanesia, orang Asli Papua, masyarakat Adat ditempatkan Allah di Tanah Melanesia di Papua Barat ini sejak Allah menjadikan manusia. Orang Melanesia,  orang Asli Papua Barat, pemilik Tanah dan Negeri ini dan Gereja datang dan hidup bersama orang Asli Papua barat ini, menyaksikan, mengamati, mengalami bahwa Pemerintah Indonesia datang sejak tanggal 1 Mei 1963  dan sampai saat ini menempatkan Orang Asli Papua Barat, Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi ini sebagai musuh Negara dengan stigma-stigma anggota OPM, anggota Separatis, dan pembuat Makar. Umat Tuhan, Masyarakat Adat, penduduk Pribumi ini dikejar dan  ditangkap seperti hewan buruan, dipenjarakan, diculik, ditembak, dibunuh  dan disiksa atas nama  kepentingan dan keamanan integritas wilayah nasional.

Sebagai Gereja yang menyuarakan SUARA KENABIAAN dan advokasi pastoral menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI dan POLRI dan Hakim  menjaga integritas wilayah nasional Indonesia (NKRI). Sebaliknya,  Gereja dengan tetap konsisten dan bertanggugjawab untuk menggembalakan dan  menjaga integritas manusia sebagai ciptaan Tuhan sesuai dengan tujuan dan misi Gereja di Tanah Papua Barat ini sejak 5 Februari 1855  sampai kepada akhir Pengadilan TUHAN yang lebih ADIL sesuai dengan janji-janji Firman TUHAN.  Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu tidak memberitahukan kepada Gereja bahwa Masyarakat Adat, Penduduk Pribumi, Penduduk Asli itu Anggota Separatis, anggota OPM dan Pembuat Makar. Alkitab memberitahukan Gereja bahwa Penduduk Pribumi itu adalah umat Tuhan yang diciptakan sesuai gambar dan rupa ALLAH. Mereka perlu hidup. Mereka perlu dihargai dan dihormati hak-hak kemerdekaan politik dan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hak-hak yang lain. Seperti ada Motto dalam perspektif Militer bahwa  “TNI AD Adalah Benteng Terakhir Penjaga Integritas NKRI”, maka  “ GEREJA Adalah Benteng Terakhir Penjaga Integritas Manusia Sebagai Ciptaan dan Gambar Allah” (Kejadian 1:26).

Keempat, Perspektif Pemerintah Indonesia.   Pemerintah Indonesia, TNI, POLRI, dan Hakim  selalu mengkleim bahwa Tanah dan Rakyat Papua Barat adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan sejarah Perjanjian New York 15 Agustus 1962; 1 Mei 1963 dan Act of Free Choice 1969 (PEPERA 1969).  Proses sejarah integrasi ini menjadi dasar bagi Indonesia, TNI,  POLRI dan hakim,   bahwa Papua Barat adalah bagian sah dari wilayah Indonesia.

Namun demikian, dari penelitian dan kajian ilmiah tentang  sejarah PEPERA 1969 yang dilakukan oleh Dr. John Salford, Akademisi Inggris, Prof. JP Drooglever, sejarawan Belanda, dan Penelitian saya sendiri dalam buku yang berjudul : Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM,  telah membuktikan bahwa Tanah dan Rakyat Papua Barat menjadi korban konspirasi politik global dengan kepentingan ekonomi dengan isu bahaya komunisme  di Asia Pasifik.  Bahkan kesimpulan tegas dari Dr. John Saltford dan Prof. JP Drooglever ialah Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969) adalah sangat memalukan dan mengorbankan masa depan penduduk asli Papua Barat.

Sementara dipihak rakyat dan Bangsa Papua Barat ini menyadari dan mengetahui bahwa peristiwa dan sejarah Act of Free Choice  (PEPERA 1969) adalah cacat moral dan cacar hukum serta palsu. Karena, itu rakyat dan Bangsa Papua Barat ini selalu dan terus-menerus melakukan perlawanan dan penolakan dengan berbagai bentuk sampai hari ini. Karena, perbedaan yang tajam ini, umat Tuhan di Tanah Papua terus menjadi korban di tangan Pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI, POLRI dan berbagai produk hukum yang menindas umat Tuhan.

Intinya, Karena orang Melayu, Indonesia, Pemerintah, TNI dan POLRI  yang datang menduduki dan menjajah Tanah dan orang asli Papua ini belum memiliki pemahaman yang betul tentang sejarah, kebudayaan orang Melanesia. Mereka selalu tampil sebagai  pahlawan, penyelamat dan pemilik kebenaran dan datang menolong dan membangun orang Papua. Pada kenyataannya ialah ada empat agenda pokok Indonesia di Tanah Papua Barat ini, yaitu: kepentingan ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan, kepentingan pemusnahan etnis Melanesia.  Untuk mencapai empat agenda besar ini, Pemerintah, TNI dan POLRI dan Hakim selalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menyembunyikan pembohongan mereka. Melalui proses pembohongan dan ruang rekayasa Pemerintah Indonesia berhasil mengintegrasikan ekonomi, politik dan keamanan ke dalam Indonesia dan menindas dan memperlakukan orang asli Papua seperti hewan. Seperti Dominggus Sorabut  menyatakan: “ Saya menolak pemeriksaan polisi atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan keempat terdakwa lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti binatang.” Sementara, Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya: “ ...saya sudah muak mengikuti persidangan serta tak mau lagi memberikan keterangan.”  (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012).    Perilaku dan watak  kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini menyebabkan Pemerintah Indonesia  gagal meng-Indonesia-kana dan mengintegrasikan orang asli Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia. Maka Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar  berada di luar bingkai dan  kerangka serta konstruksi  integrasi  NKRI”.

Kelima, Perspektif Sejarah (Historis).  Rakyat dan Bangsa Papua Barat memiliki latar belakang sejarah berdirinya sebuah Negara sejak tanggal 1 Desember 1961.  Lengkap dengan atribut kenegaraan, yang meliputi: Anggota Parlemen (Dewan New Guinea Raad), Bendera: Bintang Kejora.  Lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua.  Penduduk: Orang Asli Papua Barat dari Sorong sampai Merauke. Wilayah: Dari Sorong sampai Merauke.  Dan  orang Melayu, Indonesia juga memeiliki sejarah sendiri yaitu: 17 Agustus 1945; 19 Desember 1961 (TRIKORA);  1 Mei 1963 (Awal dimulainya malapetaka bagi orang asli Papua);  15 Agustus 1962 Perjanjian New York (tidak melibatkan orang asli Papua Barat); Act of Free Choice (PEPERA) 1969 adalah sejarah cacat moral dan hukum serta palsu.  Lebih lengkapnya, membeli buku : Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM (2005); Pemusnahan Etnis Melanesia (2007) yang sudah dilarang Kejaksaan Agung khusus dalam bab 2; dan Suara Gereja Bagi Umat Tertindas (2008) di bab 2.  Integrasi Belum Selesai (2010) West Papua: Persoalan Internasional (2011).    Keenam, perspektif pelanggaran HAM (Human Rights Violence) sejak 1 Desember 1961 sampai sekarang ini. Sejarah integrasi Tanah dan Rakyat Papua Barat ke dalam Republik Indonesia adalah sejarah berdarah. Sejarah yang penuh dengan kekejaman dan tragedi kemanusiaan. Tanah dan Rakyat Papua Barat dimasukkan secara paksa ke dalam Indonesia melalui berbagai bentuk Perjanjian Internasional dan manipulasi  PEPERA 1969 demi kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia. Akibat kekerasan Negara sistimatis melalui kekuatan TNI,POLRI dan perangkat hukum Indonesia melahirkan trauma, budaya bisu, budaya takut, budaya diam dalam diri orang asli Papua Barat.  Berbagai bentuk peristiwa pengejaran, penangkapan tanpa prosedur, pemenjaraan, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, penghilangan paksa,  penculikan dan pemerkosaan menjadi bagian hidup orang asli Papua yang dicurigai sebagai musuh Negara. Peristiwa yang memilukan hati ini terus berlangsung sampai hari ini dalam era UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dalam bentuk modifikasi atau bentuk lain. Tidak ada jaminan perlindungan terhadap hak-hak dasar dan kelangsungan hidup orang asli Papua.  Masa depan orang asli Papua Barat dalam era Otonomi Khusus semakin  terancam dan suram serta sangat memprihatinkan.

Ketujuh, perspektif Pembangunan yang diskriminatif dan eksploitatif.  Orang Melayu, Indonesia sangat bangga karena mereka selalu mengukur kemajuan dan pembangunan dari gedung-gedung besar, megah, hotel-hotel mewah, toko-tokoh megah dan bertingkat, jalan-jalan beraspal, jembatan-jembatan besi dan beton.  Tetapi, pertanyaannya ialah milik siapa semuanya itu? Kemanakah orang asli Papua? Manfaat apa yang didapat oleh orang Melanesia ini?  Sebenarnya ialah terjadi penghancuran dan pembunuhan secara sistematis secara ekonomi, pendidikan, kesehatan terhadap orang asli Papua.  Atas nama pembangunan nasional semua gunung-gunung dihancurkan, air jernih dikaburkan dan dikotorkan sehingga tidak layak diminum. Tanah-tanah penduduk asli dirampas untuk penempatan Transmigrasi dan Perusahaan Kepala Sawit.  Penduduk asli Papua diusir dengan kekerasan moncong senjata dengan alasan melawan pembangunan nasional dan lebih ekstrim adalah anggota OPM dan Separatis yang perlu ditumpas.  Orang asli Papua  benar-benar menuju pemusnahan secara perlahan  dari atas Tanah dan Negeri mereka ini. Kongresmen, Eni F. Faleomavaega, anggota Kongres Amerika pernyatakan di Papua Barat sedang terjadi : “ slow motion genocide.”

Kedelapan,  Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otinomi Khusus yang gagal. Otononi Khusus  adalah solusi politik atau bargaining politik  antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, untuk melindungi rakyat Papua, pemperdayaan orang asli Papua,  keberpihakan kepada orang asli Papua.  Tetapi,  ”dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.”(baca: Opini saya: Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua:  Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5).

“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Ibu Shirin Ebadi, wanita Iran, Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pernah mengatakan:  “Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi para penindas yang menindas kami.” Shalom. Tuhan memberkati kita. Tuhan memberkati dan melinduni domba-domba Allah yang sedang diadili dan hakim-hakim yang sedang mengadili kebenaran sejarah rakyat dan bangsa Papua.

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua

Papua Sejak Dulu Sudah Persoalan Internasional

Category: Opini Created on Wednesday, 28 March 2012 Published Date
(Sumber: suarapapua.com)




Pdt Socrates Sofyan Yoman, Ketua Gereja Baptis Papua (Foto: Ist)
Cendikiawan ternama dan juga peneliti LIPI terkemuka, Dr. Ikrar Nusa Bhakti mengakui: “Bahwa sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya (sekarang: Papua) bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga persoalan yang menyangkut dunia internasional. Ia bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dan pemerintah, antara pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antara gereja” (Yoman: Integrasi Belum Selesai, 2010, hal. 85; dan Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM), 2010, hal. 98, dan Opini: Pasific Post, Kamis, 9 Juni 2011, dan Bintang Papua, Jumat, 10 Juni 2001, hal.5.)

*Oleh: Socratez Sofyan Yoman*
Pada waktu Papua diintegrasikan (dianeksasi)  secara paksa dengan moncong senjata dan proses kepalsuan serta kebohongan publik dalam sejarah PEPERA 1969  ke dalam wilayah Indonesia demi kepentingan ekonomi, politik dan keamanan, dunia internasional terlibat langsung dalam persoalan Papua (West Papua). Amerika Serikat, Belanda, dan PBB telah terlibat dalam persoalan Papua. Itu fakta sejarah yang sulit kita abaikan.

Dengan tepat dan benar  Pendeta Dr. Karel Phil Erari telah menyampaikan: “Bagi Papua, konstruksi konflik berdimensi lokal, nasional dan internasional. Dengan konstruksi seperti itu, maka upaya melakukan perdamaian atau “peace building” agar tercipta keamanan yang utuh dan konprehensif, hendaknya melibatkan tiga komponen yang terkait dalam sejarah “perang dingin” di Papua. Mengapa, karena upaya membangun perdamaian demi keamanan bagi rakyat Papua, hanya akan sementara dan rapuh jika akar persoalan dan pihak-pihak yang terlibat dalam sejarah “perang dingin” itu berada di luar konstruksi perdamaian yang hendak dibangun. Kelompok Internasional itu termasuk Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Ketiga pihak ini telah terlibat secara langsung dan terbukti dalam suatu konspirasi internasional yang mendukung suatu praktik Act of Free Choice yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Internasional. Praktik pelaksanaan PEPERA dengan sistem perwakilan, memperlihatkan kebohongan publik, karena 1.025 “wakil rakyat” dengan tekanan politik dan militer, dipaksa memilih Indonesia.” (Baca: Erari: Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Lima Puluh Tahun Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua 26 Oktober 1956-26 Oktober 2006,  hal.182).     

Presiden Republik Indonesia, H.Dr. Susilo Bambang Yudoyono dalam siaran perssnya tentang pertemuannya  dengan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, menyatakan: “ Papua juga kami bahas…” (sumber: detikNews, Bogor, Selasa, 20/03/2012). Menteri Luar Negeri Amerika  Serikat, Hillary Clinton, di Honolulu, Hawaii, 10 November 2011, menyatakan: “Perlu adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua, dan kami akan mengangkat kembali isu itu secara langsung dan mendorong pendekatan seperti itu.” Pada  Selasa, 31 Januari 2012, Washington,  Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat,  Ibu Victoria Nuland, menyatakan: “ Kami meminta Pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan dan menjaga proses peradilan berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tentunya kami juga ingin melihat perkembangan pesat di Provinsi Papua.” (sumber: MetroNews.com).

Seorang teman  saya, Menteri  di salah satu Negara di Eropa menyurat kepada saya pada 28 Juli 2008.  “ Pak Socratez, saya sangat senang bahwa saya harus membantu Anda dan rakyat Anda. Saya harap orang-orang lain juga mendengarkan perjuangan Anda untuk mencapai harapan kebebasan, keadilan yang akan menjadi kenyataan itu. Masalah rakyat Papua Barat sangat berat bagi Indonesia. Anda berdoa, karena saya akan membahas masalah rakyat Papua dengan teman-teman di Partai kami.”

Sedangkan Ibu Dr. Caroline Lucas, MEP menyurat kepada saya pada 08 Agustus 2008. “…saya memohon kepada Anda, sampaikan pesan saya kepada orang-orang asli Papua Barat, “penentuan nasib sendiri adalah hak orang Papua Barat dan akan mendapat kesempatan untuk memilih masa depan mereka sendiri. Pada saat itu banyak orang berdiri dalam solidaritas dengan semua orang di seluruh dunia dan orang Papua Barat tidak akan dilupakan.”

Sementara teman akrab saya, Prof. Bishop Lord Harries of Pentregarth anggota House of Lord dari Parlemen Inggris,menyurat pada 30 Juli 2008 kepada saya. “Saya dan teman-teman di Inggris sangat senang dapat melakukan apa yang kami dapat lakukan untuk orang-orang Papua Barat. Yakinlah bahwa kehendak baik kami, doa-doa dan dukungan kami dalam perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk masa depan yang lebih baik.”

Uskup Dr. Desmon Tutu dari Gereja Anglikan, jauh-jauh dari Afrika Selatan dan Uskup  Dr. Sephania Cameeta dari Namibia menyampaikan seruan moral dan suara kenabiaan kepada Sekjen PBB untuk menyinjau kembali kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.   Uskup  Tutu, menyikapi   keprihatinannya kelangsungan hidup dan masa depan penduduk asli Papua sebagai berikut. “ Orang-orang Papua Barat telah dikhianati hak-hak dasar mereka, termasuk hak dasar untuk penentuan nasib sendiri. Teriakan mereka untuk keadilan dan kebebasan telah jatuh pada telinga-telinga tuli di Jakarta. Saya akan bersama mereka dalam doa saya tentang kebutuhan perjuangan mereka”.  Sedangkan Uskup Dr. Sephania Cameeta dari Namibia waktu berkunjung ke Papua pernah berkata: “ Selama ini saya berusaha untuk memahami dan mengerti tentang situasi umat Tuhan di Tanah Papua Barat melalui berita-berita surat kabar dan media internet. Sekarang,  saya telah melihat langsung bahkan mengalami sendiri betapa beratnya penderitaan yang dialami oleh umat Tuhan di sini”.

Dr. George Junus Aditjondro  menyatakan: “Persoalan di Papua sudah sangat sulit untuk diselesaikan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, selain mengikuti gejolak tuntutan masyarakat Papua yang menginginkan Referendum. Dan secepatnya pemerintah Indonesia angkat kaki dari Tanah Papua. Hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak” ( Komentar George saat peluncuran buku berjudul: “West Papua: Persoalan Internasional”, di Kantor Kontras Jakarta, Kamis, 3/11/2011).

Pada tanggal 3 Mei 2007,  Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan bahwa Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua  menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan. Maka, solusinya ialah “Dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh Orang Asli Papua dan pemerintah Indonesia.”  Pada tanggal 3-7 Desember 2007, seluruh Pimpinan Agama dan Gereja dalam Lokakarya Papua Tanah Damai mendesak agar pemerintah Indonesia “segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak”.

Pada 22 Oktober 2008, Gereja-gereja di Tanah Papua menilai bahwa “Masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan PEPERA tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Kami percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan PEPERA ini. Oleh sebab itu, untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA ini diselesaikan melalui suatu dialog damai.”

Pada tanggal, 14-17 Oktober 2008, Konferensi Gereja dan Masyarakat  menyatakan, “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ’separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada Orang Asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”

Pada tanggal 18 Oktober 2009 dinyatakan, “Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.” Pada 12 Agustus 2010, para pemimpin Gereja di Tanah Papua dalam pernyataan moral dan keprihatinan menyatakan, “Para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera diadakan dialog nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua secara adil, bermartabat, dan manusiawi yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral.” Pada 10 Januari 2011, Komunike Bersama Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua mendesak pemerintah RI untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua guna menyelesaikan ketidakpastian hukum dan politik di Tanah Papua yang menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan di tanah ini. Pada 26 Januari 2011, para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral.

Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia (PGI) dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap di Tobelo, 04-08 Februari 2011 menyatakan: “mendengarkan jeritan rakyat Papua mengenai harkat dan martabat mereka dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya sebagai akibat kegagalan UU Otonomi Khusus, serta memberi perhatian serius terhadap kritik-kritik yang disampaikan oleh gereja-gereja di Tanah Papua terhadap proses-proses pemerintahan, politik dan sosial. Memperhatikan secara sungguh-sungguh desakan gereja-gereja di Tanah Papua bersama Masyarakat Adat Papua untuk mewujudkan dialog Papua-Jakarta.    Dalam Position Paper Pokja Papua-PGI Tentang  Masalah Papua pada nomor 3 point b menyatakan: “ Mendesak Dialog Nasional sebagai flatform demokrasi untuk menemukan solusi terbaik, adil dan terhormat bagi rakyat yang merasakan dirinya “dijajah” sejak 1969".  Dewan Gereja se-Dunia juga mendukung dialog damai yang dimediasi pihak ketiga. Dewan Gereja-Gereja Reformasi Se-Dunia mendukung referendum bagi penduduk asli Papua Barat.

Kalau dibaca dan diperhatikan dengan teliti dan cermat tentang seruan moral dan advokasi pastoral serta suara kenabian yang disampaikan oleh Gereja-gereja di Papua dengan menekankan bahwa “DIALOG ANTARA RAKYAT PAPUA DAN PEMERINTAH INDONESIA DIMESIADI PIHAK KETIGA  YANG NETRAL” itu berarti pesan moral Gereja-gereja di Papua telah menjadi terang  bagi kita semua bahwa masalah  Papua adalah persoalan yang berdimensi internasional.

Saudara-saudara para pembaca setia opini: “Harapan bahwa sejarah dunia ini sedang dikendalikan oleh Tuhan. Bagi Tuhan tidak ada satu perkara yang mustahil. Yang tidak mungkin bagi manusia menjadi mungkin bagi Tuhan. Maka di atas kepercayaan seperti itu, Tuhan akan bertindak pada waktu-Nya. Inilah harapan, dan itulah iman kita.” Karena itu ijinkanlah saya terus mengutip nubuatan ini. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).

*Penulis:  Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua

“Pemerintah Indonesia Menduduki, Menjajah dan Memarjinalkan Orang Asli Papua”

(Sumber: suarapapua.com)

Oleh Socratez Sofyan Yoman
*


Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Foto: Ist)
( …ribuan anak Asli Papua yang kini menjerit terhadap ketidakberpihakan itu, mengharapkan kepada Pemerintah daerah harus sadar bahwa hadirnya UU Otsus  untuk siapa, UU Otsus lahir karena apa, karena adanya tuntutan Merdeka “melepaskan diri dari NKRI” rakyat Papua” (Dr. “HC” Herman A.T. Yoku, SIP, Cederawasih Pos dan Bintang Papua, Jumat, 30/03/2012).

Para pembaca Opini yang mulia dan terhormat, Opini saya yang bertopik: “Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua” yang dimuat Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012,  telah saya kutip janji dan komitmen Pemerintah Indonesia untuk penduduk asli Papua pada saat Papua diintegrasikan paksa ke dalam Indonesia dengan rekayasa PEPERA 1969.

Kutipan itu sebagai berikut: “Menteri Dalam Negeri Indonesia menyatakan….pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia” (Sumber:  United  Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98,19 November 1969, paragraph 18, p.2).   Setelah  31 tahun sejak 1969-2000, Pemerintah Indonesia membuat janji dan komitmen  yang hampir sama dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  untuk : pembedayaan (empowering), perlindungan (protection) dan keberpihakan (affimatitive action) terhadap penduduk Asli Papua dan Orang Asli Papua tetap dipaksa tinggal dalam NKRI.

Tetapi realitanya,  manusia Papua, penduduk Asli Papua dan Pemilik Tanah dan Negeri ini diperlakukan tidak manusiawi dan dibantai seperti hewan atas nama NKRI. Contoh nyata: Tiga orang Asli Papua yang ditembak mati oleh aparat keamanan pada tanggal 19 Oktober 2011 di lapangan Zakheus, penembaknya hanya diberikan hukuman disiplin. Ini pengkhianatan terhadap martabat manusia yang tidak bisa ditolorensi dalam konteks kemanusiaan. Alasan apapun tidak boleh membunuh manusia. Itu kejahatan terberat yang dilakukan Negara.

Contoh fakta  lain seperti pada media Cenderawasih Pos melaporkan: Pelantikan Pejabat Eselon di Pemkab Keerom Disorot. Tokoh Masyarakat asal pertbatasan RI-PNG, Keerom, Dr. (HC), Herman A.T.Yoku, S.IP, mengatakan: “Banyak  anak-anak asli Papua yang dianaktirikan dalam penempatan eselon tersebut.  Dari 117 pejabat eselon II,III dan IV yang baru dilantik beberapa hari lalu, jika dihitung secara cermat, putra daerah yang dilantik jumlah tidak mencapai 10 orang, dari yang dilantik. Saya harapkan kebijakan affirmatif (keberpihakan) yang diamanatkann dalam UU No. 21 Tahun 2001 semestinya diperhatikan oleh pemerintah daerah…” (Cenderawasih Pos, Jumat, 30 Maret 2012, hal. 14).  “Sebagai anak asli Papua bahwa Bupati harus sadar bahwa Undang-Undang Otonomni Khusus buat siapa? Pelantikan Pejabat Eselon yang kemarin (Kamis, 29/03/2012) tidak ada satupun saya lihat Anak Asli Papua yang dilantik, apalagi anak asli Keerom yang mempunyai Negeri ini, saya sangat menyesal sebagai tokoh masyarakat  yang berjuang untuk dimekarkan daerah ini, kenapa Bupati tidak bisa memperhatikan daerah ini. Kalau untuk kepentingan semata saya minta letakkan jabatan ini, bahwa daerah ini bisa dikatakan aman karena anak asli yang mengatakan aman daerahnya sendiri” (Bintang Papua, Jumat, 30 Maret 2012, hal. 5).

Dalam Kolom OPINI tentang UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus saya dengan terus terang dan terbuka terus-menerus menyampaikan dengan topik   (1)   Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua:  Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5 dan (2)  “Sudah Waktunya: Rakyat Papua Berdiri Sendiri” : di Pasific Post, 13 Maret 2012 dan Bintang Papua, 16 Maret 2012.  (3) “Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”: di Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012.  “Otononi Khusus  adalah solusi politik atau bargaining politik  antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, supaya orang asli Papua tetap dalam Indonesia dengan jaminan untuk melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua,  keberpihakan kepada orang asli Papua.  Tetapi,  “dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh umat Tuhan di Papua dan penghancur masa depan rakyat dan bangsa Papua.

Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.”

Herman Yoku mengatakan: ….saya sangat menyesal sebagai tokoh masyarakat  yang berjuang untuk dimekarkan daerah ini, kenapa bupati tidak memperhatikan daerah ini? Dari pernyataan ini terbukti bahwa rupanya banyak Pajabat Orang Asli Papua yang tidak mempunyai kemampuan kritis tentang siasat dan perangkap yang dipasang Pemerintah Indonesia  tentang latar belakang pemekaran kabupaten dan Provinsi di Tanah Papua. Saya sangat menyayangkan, cara pandang dan berpikir para Pejabat Anak Asli Papua bahwa Pemekaran Kabupaten, Kota dan Provinsi adalah hasil kerja  keras dan perjuangan mereka.  Yang sebenarnya bukan seperti itu.

Yang sesungguhnya  latar belakang ramainya pemekaran kabupaten / kota dan provinsi di Tanah Papua Barat yang liar dan tak terkendali ini ialah murni  kepentingan politik, ekonomi, keamanan dan  proses pemusnahan  etnis Malenesia  secara struktural  dan sistematis. Dan semua kebijakan  politik pemerintah  Indonesia ini  bukan kepentingan  untuk memajukkan,  membangun dan mensejahterakan penduduk asli Papua. Menurut hemat saya, kalimat kuncinya ialah pemekaran kabupaten dan provinsi  di Tanah Papua  Barat ialah  operasi militer dan operasi Transmigrasi  gara baru  untuk pemusnahan  enis Malanesia lebih cepat. Saya pernah membuat dalam Kolom OPINI di Pasific Post, 25 September 2009, dengan topik:  Pemekaran Kabupaten /Kota Dan Provinsi Di Tanah Papua Barat Adalah Operasi Militer Dan Operasi Transmigrasi Gaya Baru.”   Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 yang telah GAGAL.

Pemekaran Kabupaten, Kota dan Provinsi yang tidak seimbang dengan penduduk Asli Papua merupakan rantai-rantai Pendudukan, Penjajahan, dan Pemarjinalan  Penduduk Asli Papua sekarang sedang digalakkan dengan berlindung dibalik  slogan  pembangunan nasional. “Politik adu domba (politik devide et impera) seperti yang diterapkan oleh  Penjajah, Apartheit di Afrika Selatan, pada tahun 1978, Pieter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka: Negara boneka Transkei, Negara boneka Bophutha Tswana, Negara boneka Venda, Negara bonoke Ciskei. Dalam konteks Papua, Pemerintah Penjajah Indonesia membentuk banyak kabupaten boneka dan juga Provinsi boneka untuk memecah-belah keutuhan dan kesataun Penduduk Asli Papua.” (Yoman: hal.  Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, 2007: hal. 224)

Penulis sendiri  mempunyai  bukti  dokumen tertulis tentang operasi militer . Kalau para pembaca membaca buku saya yang berjudul : “ Pintu  Menuju Papua Merdeka “ ( Socratez Sofyan Yoman; 2000. Hal. 78- 86. Terlihat sangat  jelas ditemukan dalam buku ini dokumen sangat rahasia yang dikeluarkan  oleh departemen dalam negeri DITJEN  KESBANG dan  LINMAS dalam nota dinas no. 578/ND/KESBANG/ DIV/VI/2000 tanggal 9 juni 2000 berdasarkan radio  gram Gubernur ( Carataker) kepala daerah tingkkat I  irian jaya  No. BB.091/POM/060200, tertanggal  juni 2000  dan No. 190/1671/SET/ tertanggal 3 Juni 2000. Tujuan utama ialah rencana operasi  pengkondisian  wilayah dan pengembangan jaringan  komunikasi  dan pembentukan  provinsi dan kabupaten  di Irian Jaya ( Papua).

Pelaksana operasi  pengkondisian  dan pemekaran  ini ialah  Departemen   Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus  untuk operasi  diplomasi,  Kepolisian Republic Indonesia, Tentara  Nasional Indonesia (TNI), Badan Koordinasi Inteljen Negara ( BAKIN), Badan Intelijen  Negara Strategis ( BAIS), SPAM, MABES AD, ASTER, KASTER TNI, SINTEL MABES  PPOLRI, KOSTRAD DAN KOPASSUS , Muspida provinsi  Irian Jaya ( Papua) dan provinsi-provinsi lainDokumen lain ialah  dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariatan Jendral , Jakarta, 27 Mei   2003 dan tanggal 28 mei 2003 tentang “ Strategis  Penyelesaian  Konflik  berlatar belakang separatis di provinsi Papua  melalui pendekatan  bidang politik keamanan” ( Dokumen ini dapat dilihat  dalam buku saya:” Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” Dumma Socratez Sofyan Yoman: 2009; hal. 117-118).  Dua dokumen ini memperlihatkan wajah dan karakter milisteristik pemerintah Indonesia yang mencaplok dan menduduki  tanah Papua Barat dan  menjajah penduduk pribumi, orang Melanesia melalui rekayasa politik  sejak 1 Mei 1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  sampai saat ini . Setelah dicaplok, selama ini Papua Barat dilihat oleh pemerintah  Indonesia melalui tanpa  kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan  kelangsungan hidup orang – orang  pemilik, ahli waris negeri dan tanah  Papua Barat. Pemerintah Indonesia juga mengelola Papua Barat sebagai wilayah bermasalah  dan daerah konflik yang perlu diselesaikan  dengan pendekatan keamanan. Walaupun pendekatan keamanan  ternyata total gagal  dan penyebabkan pelanggaran HAM yang kejam dan memilukan  hati umat Tuhan.

Pemekaran kabupaten/kota dan provinsi  dalam jumlah banyak kalau dilihat dari persyaratannya seperti: penduduk, wilayah, sumber daya Alam ( SDA ) dan sumber daya  manusia (SDM), dari semua syarat  ini dari sisi jumlah penduduk dan kesiapan  sumber daya manusia SDM sangat ironis. Karena, jumlah penduduk orang asli Papua hanya 1, 5 juta yang tidak membutuhkan  banyak kabupaten/ kota dan provinsi di tanah Papua Barat ini. Kabupaten/ kota dan provinsi  banyak juga dibutuhkan  sumber daya manusia ( SDM) yang harus memenuhi  kepangkatan  dan eselonisasi yang akan menduduki jabatan – jabatan struktural dan fungsional.

Konsekwensi pemekaran kabupaten/ kota dan provinsi banyak Papua Barat ialah:  (1) Pengiriman para penjabat dari luar Papua untuk menduduki jabatan-jabatan  penting dan strategis  dengan bahwa  penduduk asli  belum memenuhi kriteria kepangkatan, keahlian, pengalaman, tingkat pendidikan.

(2) Pengiriman dan datangnya  penduduk dari luar  untuk mendapatkan peluang ekonomi di daerah pemekaran  dan meminggirkan atau memusnahkan penduduk asli. Mr. Juan Mendez, Penasihat Khusus Sekjen PBB dalam bidang Pencegahan Pemusnahan Etnis Penduduk Pribumi menytakan: “ Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan.” Universitas Yale, Amerika dan Universitas Sydney mengeluarkan laporan bahwa di Papua Barat terjadi pemusnahan etnis penduduk Asli Papua.

(3) Pembangunan basis-basis  TNI dan POLRI dengan alasan keamanan nasional  dan keamanan serta keselamatan para pendatang.

(4) Perampasan  rakyat dengan alasan kepentingan – kepentingan pembangunan  kantor-kantor pemerintah.

(5) Perampasan tanah rakyat dengan tujuan untuk membangun tokoh-tokoh besar, mall-mall, super market, hotel-hotel megah, restoran-restoran.

(6) Penghancuran gunung dan bukit milik rakyat.

(7) Penghancuran pohon-pohon sagu, kelapa sebagai sumber pendapatan  dan kehidupan rakyat.

(8) Pengancuran dan pencemaran air bersih yang dimiliki penduduk asli.

Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia sebenarnya telah gagal membangun dan menanamkan  ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika terhadap Penduduk Asli Papua. Sebaliknya, Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia telah sukses dan berhasil  membangun dan memperkuat  ideologi dan kemerdekaan Papua Barat   dengan memelihara stigma separatis, makar dan OPM.  Ini kesalahan fatal yang dilakukan oleh Pemerintah dan aparat keamanan selama ini. Pendekatan Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia yang tidak menghormati martabat manusia selama ini telah menjauhkan hati rakyat dari Indonesia. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia dengan kekerasan  hanya berhasil mengintegrasikan secara ekonomi dan politik ke dalam Indonesia.  Pemerintah Indonesia benar-benar menduduki, menjajah dan memarjinalkan (meminggirkan) Penduduk Asli Papua.

Karena kegagalan Pemerintah Indonesia di Papua,  Dr. George Junus Aditjondro  menyatakan: “Persoalan di Papua sudah sangat sulit untuk diselesaikan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, selain mengikuti gejolak tuntutan masyarakat Papua yang menginginkan Referendum. Dan secepatnya pemerintah Indonesia angkat kaki dari Tanah Papua. Hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak” ( Komentar George saat peluncuran buku berjudul: “West Papua: Persoalan Internasional”, di Kantor Kontras Jakarta, Kamis, 3/11/2011).   “Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal,” (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. :  sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011).

“SAYA TAHU, saya mengerti dan juga saya sadar apa yang saya baktikan ini. Karena itu, Anda yakin atau tidak yakin, Anda percaya atau tidak percaya, Anda suka atau tidak suka,  Anda senang atau tidak senang, cepat atau lambat, penduduk asli Papua Barat ini akan memperoleh kemerdekaan dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan Negara berdaulat di atas Tanah leluhur mereka. Dalam keyakinan dan spirit itu, apapun resikonya pendapat serta komentar orang, saya dengan keyakinan yang kokoh dan keteguhan hati nurani, saya mengabdikan ilmu saya untuk menulis buku-buku sejarah peradaban dan setiap kejadian di atas tanah ini. Supaya anak-cucu dari bangsa ini, ke depan, akan belajar bahwa bangsa ini mempunyai pengalaman sejarah perjalanan dan penderitaan panjang yang pahit dan amat buruk yang memilukan hati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia” (Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua Barat, Kamis,09 Juni 2011, 21:17 WP).  Pernyataan iman ini telah diabadikan dalam buku saya yang ke-13 berjudul: “ West Papua: Persoalan Internasional” ( Yoman: 2011, hal.4).
 
”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).


*Penulis:  Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

::.. Komentar mu lebih berharga dari Harta dan Jabatan. Thanks... ;-) ..::